Saturday, June 5, 2021

KAPITALISME DAN EKSPLOITASI DI TANAH FLORES

KEMBALI KE TIMUR.


Flashback ke tahun 2016, pertama kali saya menginjakan kaki saya di Dompu, Sumbawa, saya bilang sama diri saya ketika pergi dari pulau itu - "Suatu hari saya akan kembali lebih ke timur".

2021, setelah petualangan di pegunungan panjang Himalaya sampai hunting aurora dibagian paling selatan Tasmania akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke timur, ya! Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Tidak ada ekspektasi ketika saya pergi kesana, hanya sailing trip yang ada dipikiran saya saat itu karena siapa yang tidak penasaran dengan keindahan area Bajo? Biarpun tidak terlalu suka pantai tapi diotak saya saat itu hanya "Its OK, once in a life time".

Setibanya di Labuan Bajo, saya merasakan bahwa banyak pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun swasta, mulai dari trotoar yang layak untuk pedestrian sampai beberapa resort besar yang sudah tidak asing lagi namanya ditelinga masyarakat kota besar. Dengar dari masyarakat bahwa kini Labuan Bajo dan Komodo menjadi pariwisata Premium, makanya pembangunannya jor-jor-an.

Dua hari pertama saya di Labuan Bajo saya bangun setiap jam 5 pagi hanya untuk berjalan kaki melihat kehidupan pagi masyarakat Bajo, ya, saya tipe morning person yang suka sekali liat sunrise, hunting sarapan khas daerah, sambil minum kopi hitam tanpa gula.

Setiap pagi saya berjalan mulai dari area pantai yang tak ada kehidupan sampai di area kota melihat aktifitas pasar yang tidak sesibuk yang saya kira, tentu yang menarik buat saya satu jalan disebuah pengkolan penuh dengan jajanan dan sarapan tradisional yang dijual ibu- ibu Labuan Bajo. Maklum saya cinta sekali dengan makanan lokal, seperti yang saya selalu bilang di beberapa postingan blog saya bahwa makanan adalah identitas autentik sebuah daerah.

3 HARI BERLAYAR 


Singkat cerita akhirnya tibalah hari dimana saya berlayar, dimana selama 3 hari saya akan tinggal di kapal, kebanyakan orang menyebutnya 'living on board' / 'sailing trip'. Ini pertama kali saya berlayar lebih dari satu hari, deg degan karena saya bukan water/ sea/ beach person, lemah sama laut, mudah mabuk hanya dengan sedikit guncangan hahaha, culun memang.

Selama sailing saya diperlihatkan keindahan alam laut Flores, sayang masih banyak warga terutama awak kapal, guide, masyarakat setempat yang tidak punya sense of belonging terhadap Flores, banyak sampah di laut, bahkan saya melihat dengan mata kepala saya sendiri awak kapal yang saya naiki membuang sampah kelaut tanpa rasa bersalah. Terlihat juga karang yang rusak selama saya freedive, dan kotornya beberapa pulau terutama Pulau Komodo, bayangkan saja tiket masuk yang dibandrol untuk masuk ke Taman Nasional ini tidak lah murah terutama untuk WNA, tidak tau apa fungsi dari tiket masuk itu jika pulaunya tidak lestari dan tidak ada satu pun yang peduli.

Selama 3 hari sailing mata saya sangat terbuka dan sadar betapa Labuan Bajo dan Komodo hanya tentang eksploitasi dan mencari keuntungan. Turisnya pun tidak teredukasi untuk hanya sekedar membuang sampah pada tempatnya, boro- boro zero waste. Mereka hanya berfikir "yang penting saya punya foto bagus". Tidak sekali saya DIUSIR dari tempat saya duduk untuk sekedar menikmati sunrise, kata mereka posisi saya duduk membuat foto mereka jadi 'bocor', update status di instagram lebih penting daripada menikmati momen sunrise dan pagi disetiap detik yang jarang didapatkan di Jakarta.

DESA MELO.

Setelah saya selesai sailing, saya tidak tahu apa yang membawa saya bisa mengetahu sebuah daerah/desa yang di sebut Melo. Kurang lebih 1 jam dari Labuan Bajo, disini saya tinggal ditempat yang sangat berbeda dengan suasana Labuan Bajo. Sangat tenang, jauh dari kebisingan kota, tidak ada listrik, tidak ada sinyal, udaranya sejuk, tidak banyak kendaraan.

Setibanya saya di Melo, saya disambut oleh wanita dengan senyum sangat tulus, saya panggil dia Kakak Yosefin, dia adalah kepala DAPUR TARA FLORES memasak menjadi sebuah passion dan bentuk cinta, yang unik adalah kami pergi ke kebun/ hutan untuk mencari dedaunan yang bisa kita masak, saya benar- benar terkagum betapa mereka sangat menikmati sebuah proses, percaya bahwa bumi menyediakan dan mencukupkan apa yang kita butuh. Saya benar- benar menikmati semua proses mulai dari memetik daun singkong, menumbuk bumbu, sampai makan di atas batu ditengah hutan dekat dengan tempat tinggal mereka.

Saya menghabiskan waktu terakhir saya disini, saya tinggal di salah satu Eco-Lodge yang dikelola oleh wanita namanya Liz yang juga adik dari Kakak Yosefin, mereka asli berdarah Flores yang sangat cinta dengan budaya dan kehidupan Flores. Saya banyak mendapatkan informasi dan cerita mulai dari indahnya budaya NTT sampai dengan mirisnya kehidupan Melo yang hanya 1 jam dari Labuan Bajo.

KETIDAKSETARAAN.

Membanggakan kegagalan Labuan Bajo, itu yang ada diotak saya saat itu. Bayangkan saja radius 1 jam dari wisata premium itu, masih banyak anak- anak tidak bisa sekolah dan kekurangan gizi, terbukti bahwa wisata premium yang dibanggakan itu sangatlah tidak punya dampak besar terhadap masyarakat lokal. Kapitalisme berjaya, warga lokal sengsara. Tidak ada edukasi yang diberikan pemerintah untuk setidaknya membentuk muda mudi Flores menjadi terampil dan berwawasan setara dengan beberapa pulau tetangganya di sebelah barat mereka.

Saya dan Kakak Liz banyak sekali bercerita tentang bagaimana Flores hidup, bagaimana Flores berjuang untuk tidak kalah dengan kapitalisme, berjuang mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Kakak Liz yang sempat menjadi guru di Bali dan sekolah di Malang, akhirnya kembali ke Tanah Flores karena dia merasa bahwa dia harus kembali merawat tanah kelahirannya. Banyak sekali cerita yang menyentuh hati saya yang tidak sekali membuat saya harus berusaha menahan tangis.

Saya salah menilai Labuan Bajo, ternyata pembangunannya yang cepat dan aksesibilitas yang lebih baik, tidak ada artinya. Banyak laut yang tercemar karena polusi kapal- kapal, sampah wisatawan, terumbu karang yang hancur, turis yang tidak teredukasi, pemerintah yang sepertinya tutup mata dengan isu isu yang terjadi di tanah Flores.

GOVERNMENT SHOULD PROTECT PEOPLE YET ITS NATURE AND REGULATE CORPORATION, NOT PROTECT CORPORATION AND REGULATE PEOPLE/ NATURE!!!!

TAK PUNYA POWER BUKAN BERARTI BERHENTI BERJUANG.

Saya berharap akan banyak manusia seperti Liz yang membela tanah Flores. Kesedihan saya tidak berujung hanya cerita, kepada Liz saya berkomitmen untuk melakukan pergerakan kecil untuk membuat NTT lebih baik. Sesederhana mengirim buku yang sudah saya baca ketika saya sekolah hingga kini, daripada menghabiskan uang untuk jadi implusive beli barang yang tidak penting. Berani untuk menyisihkan uang untuk membiayai adik asuh Flores untuk bersekolah, tentu tidak hanya saya, kamu juga bisa :). 

Perjalanan saya di Flores belum selesai, saya akan kembali, atau mungkin suatu hari jika saya merasa bahwa kehidupan kota sudah tidak layak untuk saya tinggali, Flores selalu menjadi tempat dimana saya akan pergi mengahbiskan sisa waktu hidup saya.

BELAJAR MEMBUKA MATA.

Traveling bukan hanya sebuah aktifitas bepergian kesuatu tempat lalu berfoto adalah tujuan utamanya untuk pembuktian diri. Pembuktian diri seharusnya dilakukan pada diri sendiri bukan orang lain, karena pada akhirnya orang lain akan menutup mata atas apa yang terjadi didiri kita. Membukan mata bahwa orang lain mungkin punya kehidupan yang lebih kompleks, hal tersebut membuat kita sadar bahwa bersyukur dan menikmati present moment, dan empati adalah hal yang harus kita latih. Supaya kita tahu bahwa bersyukurlah yang membuat kita merasa cukup dan mengerti bahwa bahagia diciptakan, bukan dicari.